15/03/2015

Anak Filsafat


Ooh lama tak berdiskusi dalam tulisan, mari mulai lagi. Manusia modern mengalami kesulitan hubungan dengan yang namanya waktu. Benar kata Paman Ali ibn Thalib, waktu adalah pedang. Lebih berbahaya dari ‘waktu adalah uang’nya orang-orang barat. Uang bisa kehilangan yang kita cari kalau kerja katanya, tapi pedang itu bisa membuat pincang yang lain. Dewasa ini saya mulai kehilangan waktu untuk mempertanyakan segala hal. Mungkin kalau yang kenal saya langsung, suka aneh dengan pola pikir saya, kadang-kadang menanyakan kenapa ini dan itu yang dikira tak perlu. Padahal ini mah wajar saja, mempertanyakan segala hal.

Saya belajar sifat itu dari anak kecil, dan saya mengingat lagi masa-masa saya kecil. Anak kecil itu filosof paling hebat. Mereka lebih dalam daripada Om Plato dan Galileo. Galileo menanyakan tata surya, anak kecil juga. Anak kecil bahkan mempertanyakan Tuhan. Mereka selalu menanyakan segala hal, yang kata orang dewasa mungkin buat apa dipertanyakan. Orang-orang dewasa justru terlalu banyak yang belajar filsafat, bukan berfilsafat. Saat kita mengutip tokoh-tokohnya, hapal segala ajarannya, mengerti konsepsi epistemologi, ontologi, definisi, itu belajar filsafat namanya. Saat kita mempertanyakan suatu hal, merumuskan dasar suatu hal, menjelaskan suatu hal, itu berfilsafat. Anak-anak melakukan itu semua, mereka berfilsafat.
Emang filsafat itu penting ?
Manusia dewasa terlalu gengsi untuk menanyakan hal-hal tersebut, takut terlihat bodoh. Padahal kata buku tulis kosong juga “People become fool when they stop asking questions”. Mungkin kita lupa dengan kata-kata di buku tulis itu. Kita tidak terbiasa menulis pemikiran di buku waktu sekolah. Kita terbiasa menghapalkan sesuatu, tidak ada sintesis dalam pelajarannya. Anak-anak justru sebaliknya, berpikir polos. Layaknya buku tulis tersebut yang kosong dan perlu diisi, mereka bertanya. Kita terlalu banyak melewatkan waktu tanpa berpikir, padahal Al-Quran justru menganjurkan kita berfikir, bertafakur, mencari ilmu. Kita fokus ilmu hanya di kurikulum, bangku kuliah dan sekolah. Tidak lagi percaya ilmu kehidupan.

Proses kreatif yang luar biasa bisa ditemui di anak-anak. Suatu proses kreatif mungkin dikenal fase divergen dan konvergen. Orang-orang ‘tua’ / dewasa cenderung berfikir konvergen, terpusat. Tidak ada ide-ide baru, karena sudah pernah mengalami hambatan dan teknik-teknik yang biasa dipakai memecahkan masalah. Namun anak-anak yang ‘muda’, cenderung divergen. Mereka belum mengenal banyak hal, sehingga belum ada kata ‘tetapi’ dalam kamus kreatifnya. Kadang-kadang hal tersebut yang membuat sebuah inovasi hadir. Pola pikir baru dari masalah lama yang kita geser pijakan pandangnya. Lihatlah anak-anak gambar laut warnanya pink, padahal kan biru ? Ah gak juga, justru mereka mempertanyakan konsep warna biru kita itu darimana ?

Duh, tulisan saya kok jadi kaku dan berat gini sekarang. Sudah bukan menulis untuk mendengar perasaan pemikiran lagi ini kalau begitu. Lebih baik disudahi saja, sebelum ini jadi makalah atau esai. Nanti bisa ikut konferensi kalau begitu. Salam :)