16/02/2013

Warisan Petani Kebaikan

Ini bukan ucapan selamat tinggal.
Hanya simbol perpisahan ke terminal pengembaraan.
Perpisahan wajar adanya,
yang berbahaya bila setelah itu saling lupa.
Lupa saat suka dibagi.
Lupa saat duka berbagi.
Lupa saat berjuang atas satu nama.
Lupa kalau kau dan aku, kalian dan kami pernah menjadi 'kita'.
Lupa kalau kita pernah membawa asa yang sama.
Kalianlah kami pada masa itu, yang mungkin lebih baik masa ini.
Maka kata-kata ini yang kami titipkan pada kalian.

Kalian pewaris tunas, batang, daun dari pohon dakwah yang kita tanam,
untuk masa panen tak terdata nalar kita.
Mungkin sang petani telah mengolah ladang lain,
atau tanah desa akhirat telah kita telantarkan, karena tergoda kota duniawi.
Tapi semoga pohon itu tetap tumbuh,
tinggi besar lebat daunnya menaungi pejalan muda yang singgah,
mungkin suatu waktu buahnya jatuh tanpa dipetik, atau terjangkau tangan masa depan.

Kami wariskan lahan pahala dan pohon dakwah ini pada kalian.
Petani kebaikan, bercocok tanamlah akhlak.
Siramilah dengan teko-teko air ilmu yang kalian timba dari sumur kehidupan.
Jangan biarkan ilmu menguap, teko kosong, penuhilah setiap kala.
Tahanlah diri dari iklan-iklan kota dunia yang membuang potensi mengolah desa akhirat.
Mungkin kota disana tawarkan megah, semoga berkah juga desanya, rumahnya, dirinya.
Bersatulah ilmu kota dengan sumber daya alam desa, akan membawa kalian pada bahagia tak fana.

Jadilah petani yang berani membawa cangkulnya, mengolah dan menggemburkan tanah islam.
Membentuk gumpalan tanah lembut yang menyuburkan, bahkan cacing pun riang disela-selanya.
Jadilah petani yang memimpin pembukaan lahan, bukan sekedar buruh paruh waktu.
Menunggu upah bayaran, bukan nikmatnya buah akhir penantian.
Percayalah hama-hama itu tak akan memakan pohon dakwah,
selama pupuk taujih dan udara kebenaran teresap pada akar iman kalian.
Terkadang petani pun capai, tapi peluhnya adalah angan bahagia menanti buah pohon.
Semoga kawan petani juga berpeluh bahagia, bukan putus asa karena angin pancaroba.
Berpeganglah pada akar ukhuwah, melilit dan menghujam dalam pada tanah.

Petani pun tak berkuasa atas pohonnya.
Kapan ia tumbuh, berbuah dan meranggas adalah Dia yang mengatur.
Perputaran matahari dan musim, bukan penentu pohon tumbuh.
Petani hanya bisa bercocok tanam, menyiram, memupuk dan menjaga kesuburannya.
Bukan menghakimi bentuk buah, bunga, arah daun yang mungkin kita pangkas.
Percayalah bunga akan bermekaran pada masanya, buah akan ranum pada saatnya.
Semoga ranum buah manis,
tak masam karena kimia pupuk yang salah kita beli pada penjual thariqah.

Itulah lahan yang tersedia, perlengkapan tani yang kami siapkan,
sumur-sumur ilmu yang telah digali.
Perlakukan dan pergunakan dengan bijak.
Maafkanlah kami yang belum mengajarkan bercocok tanam yang ihsan, membuka ladang dengan damai.
Kami sudah harus menuju terminal kembara, mencari lahan dan ladang lain.
Tanamlah yang belum tertanam, suburkanlah yang tak subur, teruskanlah bercocok tanam kebaikan.