20/01/2014

Sarimin di Atas Motor


Kehidupan di jalanan itu seperti hukum rimba, kasar dan tanpa aturan, ya memang begitu adanya. Meskipun sudah ada aturan dari polisi, tapi tetap saja lebih banyak yang tidak pakai aturan.
"Aturan ada untuk dilanggar" - Anonim.
Saya sudah bosan dengan kondisi di jalanan dengan pengendara yang tampak tak tahu aturan dan etika jalan raya. Saya terbiasa berkendara di kota kecil, lalu kaget saat berkendara di kota besar. Lama berkendara di kota besar, sekarang saya canggung berkendara di kota kecil. Di kota besar saya hanya menggunakan gigi 3 dari 5, di kota kecil saya bisa bergigi 5. Kasihan motor saya tak merasakan raungan sempurna.

Berkendara di kota besar, semua terburu-buru waktu ditambah jumlah populasi kendaraan yang tidak menerapkan KB (Kendaraan Berencana). Khawatir macet di jalan, saling berebutan hingga tak memikirkan keselamatan. Contohnya banyak, kenapa kendaraan pribadi masuk busway ? Motor berhenti di zebra cross, motor berhenti di depan lampu merah, motor berhenti di lajur kiri langsung, motor keluar jalur naik trotoar, menerobos lampu merah, melawan arus, dan masih banyak lainnya. Ya, itu semua karena lingkungannya ? Tuntutan kehidupan jalanan ? Menurut saya tidak juga. Pernah lihat monyet di film "Jumanji" yang mengendarai motor ? Mereka juga tanpa aturan, karena mereka MONYET bukan MANUSIA yang mengerti aturan. Meskipun ada tuntutan tekanan, harusnya masih bisa beretika di jalan raya. Jadi, berhentilah berperilaku monyet dan mulai mengerti etika di jalan raya. ETIKA yang sangat sederhana, jangan berebutan dan bertindaklah sopan. Semua masalah berkendara ini karena satu hal, rebutan. Karena lampu merah, orang berebutan ingin di depan dan start duluan. Bentar lagi kayak balapan MotoGP. Karena terburu-buru, sendok kanan-kiri selap-selip tanpa lihat pengendara lain. Ada di persimpangan, saling buru-buru belok duluan, tidak memperhatikan pengendara lain, alhasil keributan dan kemacetan.
"Pengendara banyak yang tidak memakai helm, tetapi lebih banyak yang tidak memakai otak" - @ans4175
Berkendara di kota kecil, semua masih lengang. Jalanan relatif bebas macet, lampu merah juga 'santai'. Tetapi ternyata hal itu bayang semu semata, tetap saja masih semrawut dalam skala individu. Kendaraan nyebrang sembarang, parkir sembarang, berhenti sembarang, kebut-kebutan sembarang. Saya sering lihat di kampung, pengguna motor ngebut tak karuan, tapi di jalan besar (bypass) malah malu dan jalan pelan, kan mengganggu kestabilan emosi umat manusia itu. Hal yang saya amati, sebenarnya tidak ada tuntutan tekanan jalanan di kota kecil. Namun karena cara berkendara dan berbudaya di jalan raya. Kembali lagi masalah etika, berhentilah menjadi MONYET atau dipanggil MONYET. Sudah mafhum (kosakata siti nurbaya) kalau pembuatan SIM itu jarang/tidak ada yang sesuai, tidak ada tes memadai. Walhasil, tidak sadar diri di jalan raya. Maka, cobalah berempati pada orang lain, jangan rebutan di jalan raya.


Salah satu cara yang menurut saya bisa digunakan untuk mengerti etika jalanan itu adalah, melakukan perjalanan antar kota jarak jauh, tidak di jalan tol. Kenapa ? Anda akan menemui tekanan berkendara yang tegas dan dalam posisi hidup-mati secara nyata. Saat dalam kondisi hidup-mati, kita akan lebih hati-hati dan peduli. Bila dalam kota, kondisinya ya biasa saja. Ayah saya melatih saya berkendara motor-mobil sewaktu pemula dengan perjalanan antar kota, katanya kalau lancar dan tidak canggung antar kota, berkendara di dalam kota lebih mudah. Tentunya dengan sudah ada bekal ketrampilan dasar berkendara dan dipandu ahli, sebelum perjalanan antar kota. Saat antar kota, Anda belajar mengambil stan/posisi saat menikung, menyalip dan berkendara normal. Antar kota bukan untuk berkendara asal cepat, tapi pandai mengatur gas dan menjaga jarak. Rem itu alat bantu untuk berhenti dan mengurangi kecepatan, tetapi untuk mengatur kecepatan yaitu dengan bermain gas(throtle). Kalau Anda masih terlalu sering bermain rem, ya Anda belum bisa mengatur kecepatan kendaraan dengan baik. Dengan perjalanan luar kota, Anda belajar etika dari para pemain lama (supir truk, bus, travel dll), mereka punya kode etik sendiri, karena bodi kendaraan yang lebih besar. Hukum rimba yang besar yang berkuasa, ya itu ada di jalan raya antar kota. Saya sering mengalami, teman yang berkendara dalam kota relatif baik, tapi di luar kota dia 'berbahaya' bagi dirinya sendiri atau orang lain. Apalagi kalau semrawut dalam kota ?

Lalu rasakanlah berkendara di berbagai kendaraan, motor, mobil, angkot, becak, bus dan lain-lain. Tempatkan diri Anda di posisi itu, dan pandang pengendara lainnya. Bila Anda pengendara motor, coba rasakan menjadi pengendara mobil dan lain-lain. Bagi pengendara mobil, motor yang menyalip dari sebelah kiri itu berbahaya. Karena 'feel' supir itu disebelah kanan, meskipun ada spion kiri, tetapi tetap saja responnya kurang cepat dan kaget kalau ada gerakan mendadak di sebelah kiri. Jadi menyaliplah dari kanan, jangan lupa sein dan klakson/lampu dim untuk aba-aba. Saat dalam angkot, rasakan angkot itu pasti mendadak berhenti ke kiri atau sembarangan dan motor menyerbu dari berbagai sisi. Jadi kalau Anda pengendara motor 'mengalah'lah dan ambil jarak aman, angkot tidak bisa diprediksi arahnya. Ohya, pintar-pintarlah membaca arah gerak kendaraan. Dia ambil stan apa, jaga jaraknya. Kalau dia yang membingungkan, ingatkan (klakson). Jadi coba tempatkan 'perasaan' Anda dalam berkendara pada pengendara lain, baca arah geraknya dan tempatkan diri kita yang sopan di jalan raya. Selama tidak ada yang mengalah, tetap terjadi rebutan di jalan raya. Jangan ingin menang sendiri.

Berkendara itu bisa karena biasa. Kalau kebiasaan berkendara buruk, tentu akan bisa berkendara dengan buruk. Salam damai, 50.000.