03/05/2013

Jangan Lupa Bergembira

Kali ini saya tidak akan pakai bahasa formal dan bahas filsafat yang berat, karena kemarin baru saja dimarahin Om Pascal. Kata dia "Kalau kita bertaruh Tuhan 'seolah-olah' ada, lalu ternyata akhirnya tidak ada, itu bukan masalah besar. Mungkin kita kehilangan waktu senang-senang. Tapi kalau kita bertaruh Tuhan tidak ada, lalu ternyata akhirnya ada. Matilah kita, kehilangan kehidupan yang abadi". Beliau ngomong begitu, jadi ingat teman-teman saya yang agnostik dan atheis, yang belum rajin sholat juga semoga mereka diceramahin Om Pascal. Balik lagi, kali ini saya mau bahas sesuatu yang membuat kita lupa bergembira. Hidupmu bagaimana ? Senang kah ? Puas kah ? Masih banyak beban kah ?

Dulu seringkali lihat update status FB atau kicauan Twitter, isinya orang marah-marah, mengomel, sedih, curhat, keluh kesah, gak pake mendesah tapinya. Keluh kesah itu tak peduli posisi, saat nyaman atau tidak pasti saja ada keluh kesah. "Ah, bodoh, kenapa cuma salah 1 soal saja" atau "Ah, kenapa ada yang nilai AB." Mungkin itu pertanda keluh kesah dalam kenyamanan, nah apalagi di zona susah ? Terus zona susah itu apa ? Misal ya kesusahan selalu diidentikkan dengan kemiskinan, lalu kemiskinan juga disempitkan lagi ke masalah benda. Kok sempit sekali ya hidup, hanya diukur dari materi. Tapi tidak seperti itu kok di Indonesia, sejauh riset saya orang-orang kita ini pandai 'menipu' dan menertawai sesuatu hal. Semua hal bisa kita tertawakan, dari Presiden, Ketua DPR, Pak RT, Eyang Subur, tetangga, teman sepermainan, cewek orang, bahkan diri kita sendiri. Orang Jawa Timur kenal itu Ludruk, isinya humor. Padahal yang ditampilkan adalah kesusahan hidup dan kritik sosial, tapi mampu disampaikan dalam gelak tawa. Keren lah orang-orang kita ini. Lupa sejenak dari dunia.

Dulu waktu kecil, mudah sekali kita bergembira. Mendapat hal kecil dan remeh juga kita senang, nyatanya itu hal yang baru. Tapi sekarang kita sulit sekali untuk bergembira, kita lupa cara untuk bergembira. Hidup sudah susah, banyak tekanan dan tuntutan, tidak ada hal yang membuat gembira ? Ah tidak, kegembiraan bukan pada kata 'apa' tapi kata 'bagaimana'. Kegembiraan tidak pernah pergi dari suatu hal, hanya pandangan kita saja yang membuatnya tidak tampak. Saat kita lapar, sangat senang sekali jika makan enak. Tapi saat kita penuh kesempatan makan, kita lupa untuk gembira pada makanan. Saat kita tak ada pacar, senang sekali kalau ada yang nemenin. Tapi pas sudah ada pacar, bosen juga kelamaan. Pelawak itu suka menunjukkan sisi gembira dari hal-hal yang tak kita lihat kegembiraannya. Nah, itu bisa saja karena kita sudah terlalu 'biasa' menanggapi suatu hal. Tetapi mereka melihatnya tidak biasa saja. Ternyata mudah kan melihat kegembiraan ? Misal "Kita harus bersyukur dengan penemu kata 'jalan'. Kalau gak, kita bakal 'lari' terus.", contoh garing melihat kata 'jalan'. Jadi kegembiraan itu terletak pada 'bagaimana', bukan 'apa'.

Tapi, nyatanya itu tak cukup membuat gembira. Manusia terlalu banyak yang membuatnya gelisah, takut dan sedih. Kita terlalu banyak berharap dan was-was. Kita berharap terlalu banyak, sehingga saat tidak memdapat suatu hal akan sedih dan marah. Lalu, saat kita memiliki barang, kita takut kehilangan. Punya sendal mahal, dibawa ke masjid takut hilang. Punya pacar cantik, takut direbut. Punya motor bagus, takut kegores. Kita suka banget sih hidup dalam takut dan harap yang berlebih. Jadi deh kita sulit buat bahagia dan gembira. Kurangilah harap dan takut kehilangan pada diri nte, secukupnya saja. Terus kebanyakan dari kita suka sok serius, padahal kata Tuhan hidup ini tak lebih dari senda gurau saja. Hiduplah serius tapi santai, kata Prambors mah. Jadi saja kita lupa lagi cara bergembira, terlalu serius menanggapi hidup, secukupnya saja.

Bergembira itu mudah, cukup lihat sekitar yang remeh saja bisa bergembira. Kita ini bangsa yang mudah bergembira dan suka sekali dihibur sebenarnya. Nonton apa saja bisa terhibur, mulia dari berita gosip, yang kawin lagi, tertangkap minum obat, sampai cerai jilid dua serta aneka sinetron dan lawak. Bahkan presiden dan pejabat negara juga kita tertawakan, hebatlah kita ini. Tapi itu juga gak baik sih, kita terlalu banyak buang-buang energi buat gembira dan tertawa berlebihan. Kita saking gembiranya fenomena itu, jadi lupa bergembira atas prestasi diri sendiri. Kita sampai lupa untuk menjaga mutu dan kualitas diri sendiri. Gembira dan tertawalah secukupnya, sebelum tertawa menuju gembira itu dilarang.

Cukuplah ya, saya mau bergembira dulu. Mari kita akhiri dengan doa bersama,
"Tuhanku, jangan Kau cabut dari kami rasa gembira. Usir lah dari kami penghuni was-was dan gelisah, agar kami tak lupa menjamu gembira bertamu"

Silakan gembira sebanyak kamu perlu. Kami sudah dari dulu.