10/01/2013

Membaca Da Peci Code

Duh, sebenarnya ini novel lama, tapi saya baru baca -_-. Novel ini buku pertama, dari dua buku karya Ben Sohib yang diadaptasi menjadi film. Film '3 hati 2 Dunia 1 Cinta' yang menjadi film terbaik FFI 2009 kalau tak salah. Dibintangi Reza Rahardian, Laura Basuki dan Arumi Bachsin. Beuh, betah dah nonton film gini pemerannya mereka. Tapi saya lebih tertarik mengenai ceritanya. Cerita di film dan novel ternyata beda-beda tipis. Saya lebih dahulu menonton filmnya, baru membaca novelnya. Jadi imajinasi novel saya, terbatas pada ingatan film. Tapi memang mirip sih, cuma jadi tidak bebas berimajinasi saja. Saya akan bercerita buku pertama dulu. Judulnya memang unik, seperti novel Dan Brown, tapi isinya beda kok. Cerita disini mengenai kebudayaan memakai peci di kalangan muslim Indonesia, oleh tokoh di cerita dipertanyakan ke'wajib'annya.

Sering gak sih kita mempertanyakan kenapa pakai sarung, peci, itu dianggap orang alim, dan diidentikkan itu baju islami ? Padahal mah itu bukan satu-satunya baju islami. Itu hanya produk kebudayaan saja, sama seperti surban, gamis dsb, yang ada di Arab. Rasul lahir dan hidup di Arab, pada masa yang memilliki mode pakaian tersebut. Hal tersebut terus terjaga dan menjadi kebudayaan disana. Nah, kata siapa itu baju islami satu-satunya? Abu Jahal juga pakai surban dan gamis kok. Hal-hal itulah yang pembuat ingin sampaikan di cerita novel setebal 300an halaman ini. Sarung itu dari kebudayaan Hindu, peci itu dipakai di Yahudi, Kristen dan Islam, baju koko itu baju model Cina yang diadopsi menjadi baju 'muslim'. Itu semua produk budaya yang bercampur di Indonesia dahulu kala. Baju itu tidak memiliki agama, tapi manusialah yang membuat baju itu pantas tidak mengikuti perintah agama. Jadi gak ada baju islami, semua baju yang menutup aurat dan sesuai penafsiran agama ya itu baju yang tepat. Itu baru salah satu topik yang diangkat di novel. Masih banyak lagi topik yang diangkat di novel tersebut, terkait kehidupan sosial, beragama dan berbudaya di Indonesia. Tapi satu yang menarik saya, percintaan beda agama. Beuh, ini berat mamen.

Dikisahkan di novel ini, tokoh utama 'Rosid' seorang pemuda muslim yang kritis dan berkemauan keras, memiliki kekasih 'Delia' gadis Nasrani yang berparas manis, berhati mulia dan sangat mencintai Rosid. Kalau di film, Rosid=Reza Rahardian, Delia=Laura Basuki. Ngeri-ngeri sedap lah konflik dan pesan yang diangkat disini. Komentar saya sih, namanya cinta dan jodoh ya tidak bisa ditebak. Bisa aja berbeda agama, tapi apakah sampe segitunya ? Ada sekitar 7 miliyar manusia di bumi, 240 juta di Indonesia, sekitar 130 juta perempuan di Indonesia, mendapatkan 'SATU' saja apakah sulit ? Ya memang begitulah cinta kata orang-orang, tak bisa dipaksakan dan itu tumbuh dengan sendirinya. Tumbuh dalam tanah kekaguman dan pupuk kasih sayang. Kita tidak tahu dengan siapa nanti kita akan berpagut. Bisa dijodohkan, bisa ketemu di jalan, bisa ketemu teman lama, bisa ketemu lawan lama, bisa dengan siapa saja. Balik lagi ke cerita, jadi percintaan mereka tidak disetujui orang tua mereka semua. Pada buku kedua, lebih menceritakan hal ini, sedangkan di buku pertama, sebagai pelengkap dan pemanis cerita. Tapi saya akan tuliskan disini, dialog 'epic' mengenai hal ini untuk direnungi.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Delia menatap Rosid yang tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Ia menunggu beberapa saat, lalu katanya "Karena iman kita berbeda, maka kita harus mengakhiri hubungan ini. Itu kan yang kamu mau bilang, Sid?"
"Kita harus realistis, Del", jawab Rosid. Ketika mengucapkan kalimat itu, Rosid merasa seperti mengunyah pasir.
"Apa kamu pikir cinta itu nggak realistis?" tanya Delia dengan nada tinggi
"Del, aku kasihan sama kamu. Jika kita meneruskan hubungan kita, mungkin kamu harus berpisah dengan orang tuamu. Apa kamu juga gak kasihan sama mereka?"
"Dengan mengorbankan cinta kita?"
"Del, tadi pagi aku dinasehati ayahnya si Mahdi agar memutuskan hubungan ini karena alasan perbedaan kita. Tapi demi Tuhan, aku abaikan semua nasehat itu. Aku sanggup berkorban apapun demi cintam karena aku seorang lelaki. Tapi apakah kamu sanggup?"
"Apakah berkorban demi cinta itu juga berarti aku harus mengikuti apa yang kamu ikuti, meyakini apa yang kamu yakini dan membenarkan apa yang kamu benarkan?" Delia balik bertanya
"Iya, karena aku menginginkan kesempurnaan. Apa kamu pikir, Del, kesempurnaan itu bisa didapat dari perbedaan? Coba aku ingin jawabanmu yang jujur"
"Bisa aja, bukankah lelaki dan perempuan itu berbeda? Toh mereka bisa bersatu dalam cinta?"
"Del. kamu terlalu pragmatis. Kamu gak mengerti, bahwa sesungguhnya lelaki dan perempuan itu satu"
"Aku gak ngerti apa maksudmu, Sid?"
"Aku pernah mendengar Mahdi bercerita tentang Ibn 'Arabi, salah seorang filosof dari Timur. Menurut dia, ketika Tuhan menciptakan Adam dan Hawa lalu mempertemukannya, mereka berdua saling mendekati. Mendekatnya Adam kepada Hawa adalah untuk mencari bagian dari dirinya yang hilang, yaitu tulang rusuknya yang diambil untuk menciptakan Hawa. Sementara Hawa kepada Adam tidak lain hanyalah ingin kembali menuju tempat dirinya berasal. Berarti mereka berdua itu sesungguhnya satu"
"Kalau begitu, agama kita yang berbeda sesungguhnya satu, sama-sama menyembah Tuhan yang satu, sama-sama ingin mencari kesempurnaan. Lalu kenapa kita gak bisa bersatu dalam cinta?"
"Bisa, tapi masalahnya ketika kita memutuskan untuk bersatu, kita harus meleburkan perbedaan itu, dan mengorbankan salah satunya. Apakah kamu mau mengorbankan keyakinanmu demi cinta kita?"
Delia terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Namun setelah itu ia kembali bertanya.
"Kenapa harus mengorbankan salah satunya? Apa gak bisa kita tetap dengan keyakinan kita masing-masing?"
"Berarti kita masih menyimpan perbedaan, kapan kita bisa menuju pada kesempurnaan? Pilihannya cuma satu, Del, kamu yang mengikuti aku, atau aku yang mengikuti kamu."
"Jadi kamu tidak percaya semua agama itu baik?"
"Aku meyakini bahwa setiap agama itu baik, karena setiap agama itu menyuruh orang berbuat baik, tidak mencuri, menolong yang lemah dan sbagainya. Tapi Del, aku juga meyakini bahwa hanya satu saja yang benar, itulah aganaku, sebagaimana kamu meyakini bahwa hanya agamamulah yang benar. Itulah alasannya mengapa meskipun kita saling menghormati, tapi kita tidak saling mengikuti"
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Panjang bray, kalau saya tulis lengkap, baca aja sendiri..haha. Ya, begitulah kira-kira isi novel tersebut. Ini nanti ada yang nganggep saya pluralisme, dll. Ah biarin aja, saya menganggap itu cerita mengenai pluralitas, bukan pluralisme. Perbedaan itu kita hormati, tapi tetap kita meyakini kebenaran absolut bagi diri kita sendiri. Justru kalau kita menganggap semua benar, itu akan merusak prinsip kehidupan diri sendiri. Saya juga tak menganjurkan berpacaran, apalagi berbeda agama. Kan sudah saya bilang, ada ratusan juta perempuan diluar sana, kenapa gak bisa dapet 'SATU' saja. Lalu, pacaran juga, bukan tujuan kan. Tujuannya adalah akhir dari itu, bisa dengan berpisah atau bersama. Kalau begitu, kenapa gak langsung bersama aja? Lebih berkomitmen kan. Tapi cerita novel ini ingin menyentuh semua orang dan menyampaikan pemikirannya, maka perlu disesuaikan dengan budaya yang ada berkembang.

Membaca novel ini, membuka pikiran mengenai persoalan yang kita pinggirkan karena tabu untuk dibicarakan. Kita terlalu pengecut untuk memikirkan hal-hal yang sudah biasa kita jalani, tak sadar itu untuk apa. Saya hanya ingin mengajak pembaca tulisan ini berpikir lagi, berani memiliki pendapat, tidak hanya sekedar ikut-ikutan. Sekian lah, saya gak ingin menuliskan essay dan pendapat panjang. Biarkan kalian berpikir mengenai agama, cinta dan sosial.

Free your mind, enlighten your mind