14/12/2012

Ekspedisi dalam Malam

Sore ini aku sangat kelelahan, tetes keringat memang tak membasahi tubuh. Tapi penat sisa suntuk semalaman mengejar deadline tugas masih menggelayuti mata untuk istirahat. Sedari pagi hingga siang tadi pun aku tak sempat istirahat cukup. Panasnya kota kembang ini, kususuri untuk mengantar teman mencari komponen elektronik. Menyusuri Bandung pada masa ini, seperti merambah hutan kota. Harus menebas pohon kemacetan dalam pekik klakson bersahutan. Bandung yang dingin dan ramah ini, telah terkena global warming. Jalanan menghangat oleh deru mesin yang bergesekan dengan kesibukan. Barang yang dicari pun akhirnya didapat, setelah blusukan ke berbagai toko di Jaya Plaza. Siang sudah ingin menitipkan waktu pada sore, “Ton, capek juga ya cari barang gini aja. Untung bisa dapet di satu tempat aja”, sebut Jajang temanku itu. “Iya, gila juga tadi keliling gak dapet barang ini. Ini barang lama ya?”, timpalku. “Iya, barang ini udah jarang lagi, paling kanibal dari mesin asli. Kok mereka masih ada ya?”, temanku balik bertanya, “Mungkin mereka masih ada mesinnya banyak”, tambahku sekenanya. “Sing penting sudah dapat lah”, jawabku sambil menyeruput es dawet sambil kami istirahat. Jajang itu temanku dari kampus yang sudah 3 tahun ini kutinggali sebagai perguruanku. Dia berasal dari Bandung, tetapi kelahiran Jawa Tengah. Jadi kami bisa ngobrol 3 bahasa, Sunda, Jawa dan Indonesia. Aku sendiri bisa berbahasa Sunda dan Jawa, sama seperti dia, tapi aku lahir di Jawa dan orang tua dari Sunda.
Ton, malam nanti kita refreshing lihat Bandung lah. Lama kali kita tak pernah refreshing, tugas kuliah mulu”, ya memang begitu sebagai mahasiswa tugas adalah sahabat sejati tiap malam, ajak kawanku. “Aduh, pegel lah. Urang belum istirahat lah ini dari kemarin.”, balasku. Aku dan Jajang memang berbeda jurusan, meskipun kami satu fakultas. Jajang pada jalur perangkat 'keras' dan aku di perangkat 'lunak'. Kami sedang ada proyek bersama, sehingga aku 'terpaksa' menemani dia mencari komponen untuk proyek ini. Aku memang ingin sekali istirahat, setelah lelah ini. “Ya sudah, ini malam minggu loh. Barangkali kita dapat kenalan baru, haha”, ya memang kami ini pemuda yang taat agama karena tak pacaran, alasannya padahal aslinya kami ini hanya tak laku, tak sempat bercengkerama dengan perempuan. Tugas kuliah dan kemalasan yang membuat kami hidup di lebar dunia kampus saja.
Kami pun pulang setelah mendapatkan barang itu, kembali dengan merambah jalanan dan berpacu dengan lampu merah. Orang-orang disini sedang buru-buru semua, jalanan ini ujian kesabaran. Semua kendaraan berebut mengambil kesempatan masuk jalan dan tikungan, tidak melihat pengendara lain, mungkin juga tidak peduli. Sampai di kosan, jam 3 lebih sekian, setelah mengantar Jajang ke kosannya yang berjarak beda 3 RW dari tempatku ini. Kuambil waktu menghadap Illahi dalam shalat, sambil mengistirahatkan badan sejenak. Kupikir pada Tuhan, sungguh manusia ini dalam kesempitan. Hidupnya selalu dipenuhi dengan tekanan dan kesibukan dunia, pada jalanan tadi ku berkaca. Orang-orang sangat buru-buru, tak peduli keselamatan. “Apa sih yang dikejarnya?”, dalam hatiku berdiskusi. Kalaupun mereka mengejar dunia, toh kenapa malah tak peduli hidup di dunia. Ah, sambil ku tiduran di atas sajadah, ku rasakan nikmat angin sore hari. Sial! Ternyata aku tertidur cukup lama, tiba-tiba saja terbangun sudah pukul 7 kurang 20 menit, maghrib sudah lewat setengah jam. Aku buru-buru mengambil wudlu lagi dan segera shalat. Ah, pusing kepala malah jadinya bila tidur bablas sore. Memang dunia ini membuat terlena. Sudah isya saja, padahal barusan baru shalat maghrib, ya memang saya telat bangun sih. Jadi saja saya shalat Isya lagi, terus bingung mau ngapain. Sambil membaca buku yang menumpuk di meja belajar, tepatnya meja belajar menyimpan barang dengan rapih. Meja itu tak kugunakan sebagai tempat belajar lagi, buku-buku ku sudah menjadi digital di laptop kesayangan tak lepas dari dalam tas tiap hari. Bosan membaca buku, kubuka laptop dan mencolokkan modem broadband dengan pendingin modem 'Embozz' yang kubeli dari info FJB kampus. Lumayan, modem jadi tidak panas dan tidak koneksi putus.
Pertama kali pasti kubuka Facebook, ah tidak ada yang menarik informasi notifikasi postingan di grup, yang membosankan. Facebook telah mengubah sejarah komunikasi manusia dan bentuknya. Manusia kini hidup di dua dunia, dunia nyata dan dunia maya, dan batasnya kini sudah menjadi tiada. Kita berbicara di maya dan nyata, kini seakan tampak sama. Semua terasa kabur, bahkan di dunia nyata, kita sudah tersedot ke bagian lain maya. “Ah, sampah. Malam minggu ini tidak ada informasi menarik, mungkin pada pacaran semua kali ya kontributornya”, timpalku dalam hati. Lalu kubuka Twitter, ini isinya adalah ungkapan jomblowan dan jomblowati yang terintimidasi hari raya pasangan di akhir pekan. Ah ini lebih menarik menurutku, lucu-lucu kuamati lalu lintas 140 karakter di media ini. Tapi bosan juga, seakan hidup ini hanya menguntit kata-kata orang saja. Kututup saja lah itu laptop yang baru setengah jam kuamati layarnya saja, sambil menekan tombol-tombolnya. Suasana diluar sana agak dingin, hujan sudah habis tadi sore nampaknya.
Bingung menggelayuti pikiranku, tugas menumpuk tak sempat kulirik karena penat sudah tugas kemarin itu. Kantuk pun tak datang menghampiri yang sudah kubuang dengan tidur sore itu. “Jang, lagi di kosan gak? Yuk ah main keluar lihat Bandung, aing penat euy di kosan”, kutelpon Jajang menjawab tawarannya siang tadi. “Oke, urang aja lah yang ke kosan maneh, terus kita pergi gitu kemana.”, balasnya. “Siap bray, diantosan ya.”, jawabku cepat. Tak sampai 15 menit, Jajang sudah di depan kosan, gila cepat juga dia, sudah siap nampaknya. “Ton, mau kemana nih kita?”, tanyanya padaku. “Kemana aja keliling jalanan Bandung, terserah sampean saja”, balasku sekenanya. Motor pun melaju tanpa tujuan jelas. Ah, akhirnya kami menyumbang kemacetan jalanan malam ini. Ternyata malam minggu itu lebih parah dari siang hari. Penuh kendaraan, jalanan sesak, lampu saling mencolok pandangan, ditambah klakson lagi. Ah, masyarakat ini tak punya kesabaran ya, kemacetan ini kan sudah jelas tak perlu klaksonmu mengingatkan. Kalau saja ini bulan Ramadhan, tentunya ini ladang pahala ujian kesabaran kami. Kami dengan iseng saja menelusuri Dago yang macet, terus ke Balai Kota, ke Landmark dan berbelok ke arah jalan ABC. Keisengan ini bukan tanpa sebab, kami juga ingin mencari jalanan bebas macet dan selap selip kesana kemari. Tanpa diskusi penting di motor dalam perjalanan, kami malah berkomentar mengenai orang-orang saja. Aku heran pada wanita di Bandung, disini ini dingin menusuk kulit tak sampai tulang. Tapi mereka senang pakai mini skirt, bahkan jeans panjang ku pun masih terasa terselip dingin diantaranya. Biarlah mungkin dengan itu mereka menambah kehangatan Bandung ini. Menyusuri Banceuy, kami mendapati banyak perempuan berpakaian ketat sambil bermain telunjuk, seperti menghentikan angkutan umum, tapi ternyata angkutan um-um yang dicari.
Ton, mau berhenti gak? Ngobrol bentar sama mereka? Hehe”, terkekeh garing Jajang mengajak ku bercanda. “Hayuk lah, iseng-iseng”, kata-kata itu yang meluncur dari mulutku, entah kenapa. “Eh, beneran nih?”, heran tanyanya padaku. “Itu, kayaknya masih muda. Sana aja Jang”, balasku seperti itu. Ternyata Jajang tak bercanda, kami pun berhenti di depan perempuan muda yang berdiri dipinggir jalan. Kini pikiran dan hatiku tak mau kompromi, sama-sama pusing dan bingung sendiri ini bercanda model apa. “Check in, mas?”, tanyanya lirih menggoda pada kami. Rok pendek, make up menyembunyikan muda usianya menurutku, rokok mild di tangan kanan, bibir merah basah sedikit, wanita itu menggoda kami. “Berapa, ceu?”, tiba-tiba Jajang menanggapi, sambil sedikit kutahan tawa dengan membuang wajah. “300 mas”, mungkin 300 ribu maksudnya. “Kirain dapet 100 teh”, balas tawarnya. “Kalau mau, sama ibu-ibu seberang sana”, perempuan itu langsung mundur sedikit. “Ya udah, kita cari yang lain dulu ya mba”, timpalku langsung. Lalu kutepuk pundak Jajang, mengisyaratkan segera pergi. Langsung tawa ku meledak, tak kusangka yang kita lakukan sampai seperti itu. “Njir, gelo maneh tadi. Untung gak ada premannya.”, samber ku padanya. “Hahaha, sekali kali lah. Pengen ketawa juga waktu tadi saya lihat muka dia, cantik sih, tapi ...”, jawabnya.
Aku dan Jajang memang suka bercanda, mungkin agak berlebihan dan kebablasan menurut sebagian teman. Tapi itulah justru keakraban, bukan dengan kelemah lembutan. Tapi kata-kata polos dan seakan kasar itulah pelumas sosial kami dalam mengakrabkan diri. Motor pun terus melaju, kini ke arah Andir. Sambil tetap membayangkan hal tadi, bila teteh tadi mengiyakan tawaran Jajang, apa yang kubilang. Kami tak mungkin benar-benar transaksi dengannya. Motor kami sudah sampai daerah Andir saja, tepatnya di Saritem. Ya Saritem, entah angin apa yang membawa kami kesini. Daerah ini sudah terkenal seperti Dolly di Surabaya dan Sarkem di Yogyakarta, dan kami dengan semangat bercanda kesini. Masuk gang ini, kami disambut plang 'Selamat Datang dikawasan Pesantren...', ya benar yang kulihat. Kami tertawa, apakah ini penyamaran atau kenyataan. Ironis sekali, daerah dikenal seperti ini disambut oleh tulisan itu. Pesantren ini benar adanya. Aku bertanya dalam hati, dakwah apa yang mereka kaum pesantren sebar disini, sampai Saritem tak sempat membersihkan namanya. Tapi biar saja toh ternyata Tuhan kita sembunyikan di rumah suci ibadah dan tidak kita bawa ke kotornya dunia.
Eh, kita berhenti disini nih, Jang? Sus lah kau?”, tanyaku memastikan. “Iya, bray. Kita iseng lagi aja disini”, jawab lagi sekenanya. Motor kami parkir diujung salah satu gang, lalu tak lama kami dihampiri pria tua, sekitar 60an tahun. “Check in, A ?”, kembali kata-kata itu yang ditawarkan. “ABG, ada, Bah?”, Jajang bertanya balik. Gila ini, dalam hatiku berkecamuk. “Eta mah banyak, hayu”, pria itu menggiring kami ke sebuah rumah. Dalam rumah tersebut wanita muda hingga tua berjejer di sofa, dengan pakaian ketat kembali menggoda mata. Ada 3 wanita muda, umurnya kira-kira dibawah 20 tahun, aroma harum dan pakaian mini mereka kenakan. “Tuh pilih aja, A”, ucapnya, “Berapa itu, Bah ?”, sok akrab aku pun berani bicara. “300”, katanya, harga pasaran yang tak berbeda. Apakah ini sebuah kesepakatan pasar menurutku, tapi kualitas berbeda. “Kalau main di sini, di kamar atas, nambah 75 ribu, tambah teh botol dan kondom, habislah 400an, A”, gila benar yang kudengar ini seks jadi komoditi, ditawarkan paket dan semacam itu. Tepok jidat dalam benakku, gila saja dunia ini. Tak kukira seperti ini dunia yang kulihat dan kuintip di televisi selama ini. Tak kubayangkan gadis muda seperti mereka turun ke dunia ini, wajah mereka tak ada pancaran 'kupu-kupu malam', masih polos begitu saja. “”Gimana, A?”, tanya pria tua itu lagi mengaburkan keherananku. Jajang dengan cerdas mampu berkelit, kami beralasan sedang menunggu teman lain juga. Kami bayar saja upah 'lelah' untuk pria tua itu. Selamat lah kami keluar dari rumah itu, tanpa tergoda. Kami langsung mengambil motor dan lewati malam menuju kosan, mengakhiri petualangan iseng kami dengan mengawani malam, melihat realita Bandung ini.
Tak dapat kubayangkan mereka yang muda sudah terjun dalam dunia itu, bagaimana yang tua, bagaimana kalau mereka punya anak. Siapa yang salah? Mana ada wanita yang bercita-cita ingin jadi seperti itu? Mereka pasti korban kerasnya dunia menurutku, atau bahkan kesenjangan sosial. Jadi tak sepenuhnya salah mereka, kita juga memiliki saham atas alpa mereka. Pengalaman malam ini tak akan kulupakan, aku membuka mata atas sisi dunia yang kita pinggirkan karena tabu untuk diucapkan. Itulah kebenaran yang kita buang dalam pekatnya malam.