25/06/2010

Moral dan Agama

Teman-teman, perbedaan pandangan terhadap moral yang terjadi di masyarakat bukan hanya ada pada tataran wilayah ilmu, wacana, referensi maupun budaya, tetapi pada wilyah praktis. Praktis disini merupakan perilaku di masyarakat. Kita ambil contoh mudah, misalnya mode baju. Mode baju wanita muda (ABG) zaman sekarang yang kelihatan pusar maupun 'perabotan' lainnya itu coba Anda pertanyakan. Apakah mendukung moral, melanggar moral, atau rawan amoralitas? Tentu belum pernah ada penelitian mengenai hal itu, setahu saya. Sebab menurut mereka, yang bajunya 'sedikit' bahan itu merupakan bagian dari moral dikehidupannya. Sehingga dia tidak merasa melanggar moral dan dia tidak sedang merasakan merusak dirinya ataupun merusak masyarakat. Bagi dia, itu merupakan moral yang ada dalam masyarakat.

Jadi betul-betul harus ada dialog dalam tiap-tiap lingkaran masyarakat, keluarga. Sebenarnya prinsip-prinsip moral itu apa saja? Terjemahannya, aplikasinya dalam perilaku hidup bagaimana? Kalau diterjemahkan dalam hal mode, bertetangga, berkeluarga, bermasyarakat atau perilaku hidup lainnya bagaimana? Harus ada perumusan kembali secara mendasar. Sehingga kalau tidak kita lakukan hal itu, maka kita bertengkar di awang-awang. Maka kita harus merumuskan kembali moral tadi itu apa.

Jika kita ibaratkan moralitas adalah sebuah tanaman yang harus ditanam dalam pot atau tanah. Misal pot / tanah tersebut adalah kebudayaan. Kemudian jenis kebudayaan tersebut kita namakan kebudayaan timur, maka pasti ada kebudayaan barat. Sekarang kita bertanya, yang mana dari Indonesia ini kebudayaan Timur ? Dan apakah kalau Anda ke Inggris, Amerika, Rusia Anda temui kebudayaan Barat ? Cinta pada orang tua itu kebudayaan Timur atau Barat ? Cinta pacaran itu budaya Timur atau Barat ? Kadang-kadang orang Timur sangat Barat, kadang-kadang orang Barat sangat Timur. Kadang-kadang orang Barat sangat sosial, kadang orang Timur sangat individualistis. Padahal ada 'keterangan' baku kalau yang Barat itu liberal dan penuh kebebasan, sedangkan yang Timur itu sosial dan penuh gotong royong. Ternyata dalam praktiknya bisa terbalik sama sekali. Kembali kita kepada dasar ilmu moralitas yang sederhana. Apa benar moral itu bisa kita tanam dalam pot kebudayaan ? Apakah kita harus menemukan pot/tanah yang lebih permanen? Yang bisa menjaga moral itu tanpa batas waktu, batas daerah, tanpa batas zaman. Sampai zaman apapun, moral A tetaplah A. Nah, kalau kebudayaan itu tidak bisa menjaga itu, sekarang bilang A adalah baik, bulan depan A adalah buruk. Mungkinkah kita mengandalkan kebudayaan, ataukah kita harus mencari dasar-dasar lain untuk menjaga moralitas?

Lalu mengenai permisivisme dalam hal moralitas. Misalnya free sex, pencurian, kemalingan, menyontek itu permisivisme yang hilang. Gampang kita temui contohnya dalam hal bermasyarakat, kita menjunjung Hak Asasi Kemanusiaan. Tetapi dalam kenyataannya kita melumrahkan main hakim sendiri, tawuran antar kelompok, menyontek, menyuap. Padahal tidak kita sadari kita telah melanggar batas Hak Asasi Manusia yang kita sepakati dan kita buat sendiri dalam Magna Charta. Dan tidak sedikit orang yang sadar dalam hatinya tentang hal itu, bahkan pelakunya. Kita ada baiknya mulai sedikit bersedih, bahwa kita telah mencapai tingkat kekebalan negatif dalam hal moralitas.

Kembali pada pedoman realitas yang kita cari, yang abadi dan sejati, berlaku lintas zaman lintas waktu dan tidak relatif. Menurut saya itu (mohon maaf) hanya agama. Abadi itu maksudnya, mau siang/malam, mau abad 20/abad 21, mau ini kerajaan/republik, mau siapapun yang berkuasa itu berlaku tetap. Sedangkan sejati adalah sesuatu yang 'benar-benar' kebenararan (the real truth), mau diapa-apain tetap seperti itu tidak bisa diatur oleh manusia karena itu dari Tuhan. Begitulah Tuhan mengatur, biar kamu menjalani hidup ini dengan peradaban secanggih apapun kamu tidak bisa mengubahnya. Sesuatu yang berlaku lintas zaman lintas waktu, artinya itu sesuatu yang tidak terikat batasan-batasan relativitas manusia. Nah, kalau moral tidak menanam dirinya dan nilai-nilai akarnya dalam kesejatian dan keabadian serta lintas zaman lintas waktu tadi. Maka moral menjadi tidak dapat kita nilai. Oleh karena itu, kita dalam memilih sesuatu atau berperilaku sesuai moral harus memiliki pedoman yang 'agak' mendasar.



Sekian, mudah-mudahan sedikit menjadi bahan renungan.
**terinspirasi dari Catatan Kehidupan - Emha Ainun Nadjib.