16/11/2012

Menjadi Insinyur Kebudayaan Melalui Sastra

-->
Ini merupakan tugas yang saya tuliskan untuk jadi pengingat saya, semoga Anda pembaca bisa ambil manfaat. Kalau tidak ya sudahlah, saya juga bikin bukan buat Anda :p

Awal terpikirkan puisi ini (lihat disini) saat membaca buku essai dari buku Emha Ainun Nadjib berjudul 'Slilit Sang Kiai', membahas mengenai sastrawan dan pembangunan. Peran sastrawan dalam pembangunan negara dan kebudayaan. Bahwa pemimpin dan teknokrat juga harus dibantu sastrawan untuk mengkomunikasikan ide menjadi sebuah kebudayaan. Salah satu bab di buku itu menceritakan mengenai pandangan Emha mengenai sastra dan kebudayaan Indonesia. Emha melihat sastrawan di Indonesia banyak yang salah posisi. Hendak mengubah peradaban hanya dengan sastra dan kata. Tapi nyatanya kepentingan politik dan militer itu tak luluh hanya dengan kata. Justru nyatanya sastra itu harus dipinggir dan terkucilkan agar akrab dengan masyarakat umum lainnya. Sastra harus bergabung dengan entitas lain, agar dapat didengar dan memiliki kekuatan perubahan kebudayaan . Saya yang selama ini belajar mengenai teknologi dan dididik menjadi insinyur, jarang bersinggungan dengan sastra. Ketertarikan saya pada sastra, membuat saya ingin teknologi dan kemajuan zaman ini membangun kebudayaan dan peradaban masyarakat bukan untuk dekonstruksi nilai dan moral.

Sastra bagi saya yang masih belajar untuk merangkai kata dan mengkomunikasikan gagasan, adalah sebuah luapan ide yang tak perlu dipahami, tapi dirasakan. Memahami sastra seperti hal yang teknis, terkurung oleh aturan baku. Sedangkan merasakan lebih menaruh hati dalam membaca. Sastra digunakan tak hanya untuk meluapkan perasaan ataupun sebatas perayaan rasa, tapi juga sebagai penggerak ide dan menyampaikan gagasan untuk dipahami lebih. Suka sekali saya membaca karya sastra untuk kritik sosial maupun pembangunan. Sastrawan bagi saya adalah orang hebat yang peduli dengan kondisi sekitar, untuk dikodifikasi dalam kata agar orang lain mampu merasakan objek yang sama dengan interpretasi berbeda.

Pada puisi ini saya gambarkan perasaan saya saat belajar sastra, saat mengenal sastrawan dan sastra sendiri itu apa bagi saya. Saya menganggap untaian kata dalam sastra itu hidup, mampu menggelorakan semangat pada pembaca. Terutama sastra pada sepasang manusia, tentu perasaan yang membuncah membuat sastra seakan jawaban perasaan dua insan. Tapi sastra lebih luas bagi saya adalah penggerak peradaban. Sastra yang menyampaikan gagasan, itulah yang ingin saya pelajari. Saya baca karya sastra dari angkatan lama hingga 60an, dengan gaya dan semangat masing-masing. Saya melihat sastrawan layaknya Nabi pada zamannya yang ingin melahirkan kebudayaan manusia dengan memanusiakan manusia. Saat zaman masih pemberontakan dan pembangunan, sastrawan dipinggir politik untuk menuntun perkembangan kebudayaan dan kontrol sosial. Sastra pasca kemerdekaan dan era 80an hingga 2000an, bagi saya meluapkan gagasan dan ide, untuk menjadi semangat membangun peradaban berbudi luhur.

Sastra itu misteri seperti saya tulis, tak bisa kita pahami. Sekalipun memahami, itupun lebih banyak dirasakan. Estetik kata hanya mediasi rasa untuk tersampaikan. Sastra itu bersahaja dan langsung mengena, bukan hal mewah untuk dibayangkan. Tetapi tetap saja sastra itu benda yang unik dan sulit dijelaskan juga. Sastra berasal dari dalam hati penulis, untuk dapat dibaca orang lain dan dapat dirasakan, itulah hidup. Sastra seperti itu, membuat saya tak hanya berpikir layaknya insinyur. Insinyur yang hanya berkutat dengan teknologi, tapi juga akan berkutat dengan manusia. Teknologi yang akan menggiring kebudayaan dan peradaban, dengan menyampaikan yang dapat dirasakan. Seperti penemu-penemu dahulu dalam masa keemasan Islam. Ilmuwan juga sebagai filsuf dan sastrawan, karya yang dihasilkan tidak hanya bersifat ilmiah. Namun dapat juga dirasakan oleh pembacanya, karena tersampaikan dalam gagasan dan juga perasaan. Begitulah sastra yang ada dalam pandangan saya, sebagai media menyampaikan gagasan. Tentunya teknokrat dan ilmuwan juga tak boleh jauh dari sastra, agar kebudayaan berkembang bersamaan dengan kemajuan peradaban. Tidak pincang antara peradaban dan teknologi.

Puisi bagi saya merupakan media untuk mengekspresikan perasaan dan untuk memahami perasaan. Dalam puisi, ada banyak hal yang tak dapat diekspresikan mampu dikodifikasi dalam tulisan. Memang interpretasi puisi dapat berbeda antara pembaca maupun penulis. Tapi setidaknya pembaca pun akan mendapatkan rasanya sendiri. Bahkan firman Tuhan pun dalam bahasa puitis yang tercantum di kitab suci. Firman Tuhan tak secara gamblang berbunyi, tetapi dengan estetika kata, pelafalan dan pemilihan kata. Jadi nyatanya puisi itu memang bahasa perasaan kita sehari-hari. Setiap orang mungkin akan bilang tak pandai berpuisi, tapi nyatanya puisi itu juga akan muncul dengan sendirinya bila perasaan dikedepankan, bukan pemikiran baku.