25/04/2013

Fragmentasi Sosial dan Cinta Terkuantifikasi

Waduh, judulnya ini berat. Ya berat, penat menelan filsafat pada jam hampir 11 malam lewat. Saya menulis ini dengan rasa takut akan dimarahi nanti oleh Eyang Descartes atau Om Newton. Ya, mereka tokoh ilmuwan yang mengubah dunia dan pola pandangnya, yang memajukan teknologi. Sains berkembang dan membawa kemajuan teknologi namun tidak menyentuh aspek moral, membuat teknologi hanya menjadi bahaya. Pakde Thomas Kuhn dulu sempat mengatakan bahwa ada hal paling mendasar dalam berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah tidak serta merta berpikir sistematis, teoritis dan berdasarkan eksperimen positivis. Berpikir ilmiah itu dilandasi oleh sebuah paradigma, paradigma yang mengarahkan hasil dari proses berpikir tersebut.

Masa ini dengan gemerlap teknologi, menyimpan luka moral pada umat manusia. Paradigma Cartesian-Newtonian yang menjadi dasar adalah terlalu Sistematis dan Materialistis. Semua hal harus dapat diukur dan harus dapat dijelaskan secara 'ilmiah', secara eksak dan riil. Padahal manusia memiliki dimensi immaterial yang tak dapat diraba indera, seperti cinta dan realita spiritual. Mereka menanamkan kemajuan zaman dengan degradasi sosial yang memberi jarak antar manusia dengan alam, Tuhan dan lingkungan sosialnya. Kemajuan sains telah membawa dampak krisis dan kritik pada sudut-sudut tertentu.

Paradigma sains mengembangkan teknologi ditujukan untuk kemajuan materi dan menguasai lain-lain dengan militer. Teknologi berlomba membuat senjata untuk saling menaklukkan dan sudah kita lihat dari 2 episode perang dunia yang mungkin menjadi trilogi akhir-akhir ini. Kemajuan teknologi mempusatkan hanya pada manusia (antroposentrik) dan menempatkan alam sebagai objek. Alam yang dieksploitasi, tidak dijaga keseimbangannya, hanya berpikir materi. Lingkungan adalah lahan garapan materi duniawi. Kita kehilangan kepekaan sosial dan tanggung jawab sebagai manusia sosial. Teknologi memisahkan lingkaran sosial terdekat kita dan mendekatkan realita fana sosial melalui layar sekian inci. Kita tercerabut dari kesadaran nyata ke alam maya. Manusia sebagai makhluk individu kehilangan kemerdekaannya sebagai manusia multidimensional. Dimensi spiritual harus dapat dijabarkan dalam kumpulan fakta dan notasi matematika. Tuhan kita tiadakan atau tak kita akui keberadaannya, kalau kata Mas Nietzche mah Tuhan sudah mati. Lompatan rasa dan emosional dicari titik ilmiahnya untuk direkayasa. Tuhan jadi hal profan yang tidak mesti kita perjuangkan akhirnya.

Modernisasi seharusnya tidak hanya menyangkut kecerdasan, tetapi juga kebijaksanaan. Modernisasi ekonomi hanya menyalahi fungsi uang sebagai alat tukar menjadi komoditi. Uang dijual belikan, berorientasi materi, melupakan keseimbangan aliran barang riil dan nilai sebagai alat tukar. Modernisasi dunia pertanian, malah membuat kita lupa cara mengolah tanah dengan bijak. Kimiawi dan pestisida, mencari untung cepat dan meninggalkan lahan mati kemudian hari. Saat ini kita hidup dalam fragmen-fragmen sosial yang berjauhan. Amati orang-orang yang duduk di kursi tunggu atau suatu ruangan, 3 dari 4 orang pasti akan terpaku pada layar sekian inci. Interaksi sosial berlangsung maya, nyata depan mata hanya angin lalu. Kita hidup dimana rasa dan cinta harus terkuantifikasi. Kau harus memiliki alasan transaksi sosial untuk mencintai dan dicintai. "Aku cinta kau, karena ... . Maka kau harus memberiku ... ." Cinta harus memiliki ukuran. Dia kehilangan kebebasannya sebagai entitas rasa manusia, esensi manusianya dikalahkan eksistensi materi dan kita terjebak angka.

Mari ubah pola pikir kita yang berpaku pada materi dan duniawi. Manusia memiliki dimensi immaterial dan relasi dengan alam, lingkungan sekitar. Berpikirlah secara menyeluruh (holistik), bukan terkurung diri sendiri. Masih ada waktu, mungkin bukan untuk kita. Tapi 10-20 tahun lagi, anak-anak kita mewarisi peradaban yang kita akan tinggalkan. Greeting, human !

"And medicine, law, business, engineering, these are noble pursuits and necessary to sustain life. But poetry, beauty, romance, love, these are what we stay alive for" - Whitman