10/05/2015

Skizofrenia Sosial


Ini malam di bagian bumi +7 jam dari London, tepatnya di Indonesia, sekitar pukul 11 malam 11 hari dari perayaan Mayday di 2015. Saya baru saja menonton film The Voices tadi siang dan saya langsung sakit kepala. Saya merasa tertampar pikirannya menonton film ini. Film ini mengusik pemikiran dan kepercayaan saya. Film ini bercerita tentang seseorang yang mengalami gangguan psikis, dia mendengar suara-suara tanpa wujud manusia. Suara-suara ini digambarkan berasal dari mayat dan hewan. Sungguh luar biasa, seperti mukjizat saja berbicara dengan hewan, menyaingi Nabi Sulaiman. Film ini dikategorikan thriller, hati-hati yang perut dan matanya gak kuat melihat darah dan isi perut terburai.

Tokoh utamanya, Jerry, memiliki gangguan kejiwaan yang bisa dikategorikan 'Skizofrenia'. Dia tidak dapat membedakan mana yang khayalan/halusinasi dengan dunia nyata. Sedemikian serupa sehingga, kacau lah hidupnya. Dia seperti mendengar wahyu malaikat, perintah membunuh dan hal-hal paranoid lain. Saya tidak ingin mengaitkan ini dengan kasus pembunuhan, tapi dengan hal-hal kepercayaan sekitar kita.

Pertama, pernahkah berfikir kalau kita hidup di zaman Nabi ? Hidup bersama beliau Rasulullah. Apakah kita akan memeluk Islam ? Mendengarkan seseorang yang dianggap gila, mendengar wahyu dari Jibril di Gua Hira, bertemu Allah dalam semalam dengan perjalanan luar biasa absurd dinalar logika. Bayangkan konteksnya bila Rasul hidup di zaman ini, saat ilmu kedokteran sudah maju dan mengkategorikan fenomena itu sebagai gangguan jiwa. Akankah kita percaya ? Atau kita juga akan menganggap Rasul gila ? Mungkin Rasul sudah ditarik ke RSJ terdekat dan kita menganggap itu kasus medis. Untungnya Rasul tidak hidup di zaman yang konteksnya sama dengan kita. Karena di zaman ini saja, kisah Rasul yang sudah ditulis tanpa mendiskreditkan penalaran mukjizat Rasul, kita masih tidak percaya dengan perintahnya. Ya kalau mau menalar agama, silakan, saya sudah lelah dan berhenti :). Jadi kasus-kasus seperti orang yang mengaku Nabi pada zaman ini, mungkin mereka juga mendengar 'wahyu' seperti itu. Mungkin seperti 'wahyu' Nabi Ibrahim, disuruh nyembelih anaknya. Kasus zaman ini, disuruh membunuh pacarnya. Sungguh luar biasa ! Coba sekali-sekali berfikir begitu, ya mungkin engkau dikira sesat. Betul ?

Kedua, pernahkah berfikir batas antara khayalan dan nyata itu dalam media sosial ? Kita hidup di masa dimana batas antara yang maya dan nyata sangat tipis. Saat kita bangun tidur, kita sudah login di dunia maya. Mengecek perkembangan di sana, dan kita lupa dunia nyata sendiri. Kalau dalam ayat suci, kita lupa akhirat karena dunia saja. Sekarang kita lupa akhirat karena dunia nyata dan maya. Sehingga doa sapu jagat untuk meminta kebaikan di dunia dan akhirat, harus dilengkapi di dunia medsos. Agar tidak jadi bahan bully dan bisa jadi selebtwit. Saat di dunia maya, orang kehilangan kendali jati dirinya dan eksistensialismenya, lalu tercerabut ke ruang tak bernama. Mereka menjelma identitas lain, topeng-topeng individu muncul. Agar kita suudzon, marilah berfikir status-status bijak itu merupakan pencitraan mereka, berita-berita itu juga adalah orkestra tangan-tangan tak terlihat yang ingin menguasai dunia. Ya biarlah begitu, kita hidup dalam ketakutan dan prasangka-prasangka. Kita tidak bisa membedakan lagi mana nyata dan maya, mana fakta mana cerita, semua informasi kita cerna dan percaya, tanpa pengolahan kata. Manusia-manusia menjadi dewasa pada ruang sempit sekian pixel, menjadikan mereka penyendiri dalam kotak kaca. Lalu ?

Ketiga, mungkinkah suara-suara khayalan itu juga dari persepsi dan kepercayaan kita pada suatu hal ? Kita memiliki persepsi pada seseorang bahwa dia itu A, memiliki perangai 'itu'. Semua gerak geriknya akan muncul pada kita disesuaikan dengan perangai 'itu', kita menjadi tidak objektif. Diri kita sendiri seperti menjustifikasi kebenaran palsu itu. Bila kita anggap dia buruk, bahkan usaha dia untuk memberi shodaqoh pun kita kira money laundry, atau duit panas. Kembali lagi kita hidup dalam prasangka. Mungkin itu bisikan setan ? Atau diri kita sendiri ? Mungkin teori kepribadian cermin juga seperti itu, kita menganggap diri kita apa, maka kita akan menjadi sesuatu 'apa' itu. Seperti leluhur kita juga yang merasa mendengar alam dan batu berbicara padanya, karena mereka percaya pada hal tersebut. Kepercayaan akan membuatmu seakan mendengarkan sabdanya. Jadi, tolong percayailah sesuatu dengan bijak, tetap berpikir terbuka jangan terbawa emosi. Setuju ?

Ya sudah malam, dan tulisan ini semakin tidak saya mengerti di kepala saya. Saatnya berbicara dengan diri sendiri, monolog dini hari. Salam waras !